Rabu, 11 Februari 2009

PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PASCA UNDANG-UNDANG 32 DAN 33 TAHUN 2004

Oleh: Marsono *)

I. Pendahuluan
Perubahan atas Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah meletakkan landasan hukum yang kuat dan pengaturan yang lebih terinci dan komprehensif tentang otonomi daerah, desentralisasi, penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah.
Pengelolaan keuangan daerah sebagai sub sistem keuangan negara telah mengalami perubahan mendasar seiring dengan semangat reformasi manajemen keuangan negara sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berbagai peraturan perundangan tersebut, lebih memperjelas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah agar dapat lebih mandiri, transparan, dan akuntabel, sebagai upaya untuk mewujudkan good local governance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dinamika perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut, pada intinya adalah perlunya penenkanan perbaikan konsepsi pengelolaan keuangan daerah kedepan dengan mendudukkan kembali makna dari prinsip pengelolaan keuangan/anggaran publik, yaitu “apa yang menjadi kewajiban dari masyarakat (pajak/retribusi dan aspek pembebanan lainnya) akan menjadi hak bagi pemerintah, dan apa yang menjadi kewajiban bagi pemerintah (pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat) akan menjadi hak bagi masyarakat”.
Terkait dengan kewajiban pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan umum tersebut, Bachrul Elmi (2002) menyatakan bahwa “otonomi daerah harus dipandang sebagai suatu proses, yang justru semakin memberikan kemampuan profesional kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan publik pada skala lokal dan regional. Oleh karena itu pemerintah daerah harus didukung dengan sumber dana yang cukup dan sumber daya manusia yang profesional. Hal tersebut sejalan dengan prinsip kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana disebutkan Pasal 2 UU 33/2004 yang menyatakan bahwa: (1) Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah
_______________________
*) Ahli Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN
Pusat dan Pemerintah Daerah; (2) Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal; (3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah merupakan sistem yang menyeluruh mengenai pendanaan dalam pelaksanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Lebih lanjut Dr. Boediono (2002) menyatakan bahwa konsep Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) dalam mendukung otonomi daerah jelas terlihat, antara lain dari semakin besarnya jumlah dana yang didaerahkan, baik dalam bentuk dana alokasi umum, bagi hasil, maupun dana alokasi khusus. Sejalan dengan semakin besarnya jumlah dana yang didaerahkan, maka: (a) Expenditure ratio (perbandingan pengeluaran antara Pemda dengan Pusat) semakin besar. Dari pengalaman internasional, dalam suatu negara ada korelasi positif antara kemajuan ekonomi dengan demokrasi, pelaksanaan otonomi daerah dan Expenditure ratio; (b) Keleluasaan Pemda dalam pengalokasian (perencanaan) maupun penggunaan dana yang berasal dari Pusat semakin besar. Penggunaan dana desentralisasi yang berasal dari Pusat sepenuhnya menjadi kewenangan daerah, dan diharapkan akan dapat dialokasikan sesuai dengan skala prioritas daerah itu sendiri, tentunya akan lebih memperhatikan kebutuhan dan keterlibatan masyarakat setempat; (c) Pengawasan dan pertanggungjawaban akan bersifat horizontal. Sebelum dikeluarkan UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dana yang berasal dari Pemerintah yang lebih tinggi dipertanggungjawabkan kepada tingkat pemerintahan yang memberikan (vertikal), dan sekarang dana tersebut dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui legislatif daerah (DPRD).
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka sebagian kekuasaan Presiden dalam pengelolaan keuangan negara diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) butir (c) UU 17 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun berkaitan dengan penatausahaan keuangan daerah, Gubernur/Bupati/Walikota sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
melimpahkan kekuasaannya itu kepada pejabat perangkat daerah atas dasar prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji dan yang menerima/mengeluarkan uang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 156 UU 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dan dalam melaksanakan kekuasaan tersebut, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan dimaksud didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji dan yang menerima/mengeluarkan uang”.
Konsekuensi dari diberlakukannya berbagai peraturan perundangan dibidang keuangan negara serta undang-undang pemerintahan daerah dan undang-undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka telah terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah. Atas dasar hal tersebut, maka melalui tulisan ini penulis ingin memberikan sedikit pemahaman bagaimana implementasi dari berbagai peraturan perundangan dibidang keuangan negara tersebut kedalam kegiatan yang lebih nyata dalam kerangka pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu tulisan ini mencakup: (1) pendahuluan; (2) pengertian dan ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah; (3) pengelolaan keuangan daerah yang meliputi: (a) perencanaan (perencanaan kegiatan dan anggaran sampai pada penetapan APBD); (b) pelaksanaan APBD; (c) penatausahaan keuangan daerah; (d) pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah; serta (e) pengawasan pengelolaan keuangan daerah.

II. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, penerimaan transfer dari pemerintah pusat kepada daerah, dan melakukan pinjaman;
Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
Pendapatan daerah merupakan semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan;
Belanja daerah merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan;
Pembiayaan merupakan setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya;
Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah daerah.

Sedangkan pengelolaan keuangan daerah adalah merupakan keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Dalam konteks keuangan daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Sedangkan belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah. Belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari: (1) pelayanan umum; (2) pertahanan; (3) ketertiban dan keamanan; (4) ekonomi; (5) lingkungan hidup; (6) perumahan dan fasilitas umum; (7) kesehatan; (8) pariwisata; (9) budaya; (10) agama; (11) pendidikan; dan (12) perlindungan sosial. Sedangkan belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari : (1) belanja pegawai; (2) belanja barang; (3) belanja modal; (4) bunga; (5) subsidi; (6) hibah; dan (7) bantuan sosial.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Adapun sumber-sumber keuangan daerah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 33/2004 bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dapat berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, serta lain-lain penerimaan yang sah.
1. Pendapatan Asli Daerah; Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU 33/2004 disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah bersumber dari: (a) Pajak Daerah; (b) Retribusi Daerah; (c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan (d) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
2. Dana Perimbangan; Berdasarkan Pasal 1 butir 18 UU 33/2004 disebutkan bahwa Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Adapun tujuan Dana Perimbangan adalah: (a) Dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah; (b) Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab; dan (c) Memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan. Sedangkan susunan Dana Perimbangan sesuai dengan Pasal 10 Ayat 1 dan 2 UU 33/2004 terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
a) Dana Bagi Hasil; Dana Bagi Hasil berdasarkan Pasal 11 Ayat (1 s.d 3) adalah:
(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b. Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB);
c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:
a. kehutanan;
b. pertambangan umum;
c. perikanan;
d. pertambangan minyak bumi;
e. pertambangan gas bumi;
f. pertambangan panas bumi.

b) Dana Alokasi Umum.
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Berkaitan dengan besarnya Dana Alokasi Umum Pasal 27 ayat (1 s.d 4) menyatakan bahwa:
(1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam perseratus) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN;
(2) DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar;
(3) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah;
(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.

c) Dana Alokasi Khusus.
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN dan dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Pasal 38 menyatakan bahwa “Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN berdasarkan masing-masing bidang kegiatan disesuaikan dengan ketersediaan dana dalam APBN.
Berkaitan dengan pemberian Dana Alokasi Khusus tersebut, Pemerintah Pusat menetapkan kriteria sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 ayat (1 s.d 4) yang menyatakan bahwa:
(1) Pemerintah Pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis;
(2) Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD;
(3) Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah;
(4) Kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian nega-ra/departemen teknis.

3. Pinjaman Daerah; Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU 33/2004 disebutkan bahwa: “pinjaman daerah bersumber dari: (a) Pemerintah Pusat; (b) Pemerintah daerah lain; (c) Lembaga Keuangan bank; (d) Lembaga Keuangan bukan bank; dan Masyarakat.


III. Pengelolaan Keuangan Daerah Pasca UU 32 dan 33 Tahun 2004

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah “keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah”. Dengan demikian rangkaian kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses atau alur kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah itu sendiri. Untuk itu pengelolaan keuangan daerah pasca UU 32 dan 33/2004 tidak lain adalah bagaimana implementasi pengelolaan keuangan daerah kedepan sesuai dengan amanat dari peraturan perundangan di bidang keuangan negara/daerah tersebut.

Perencanaan Pembangunan Daerah

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka meliputi:
(1) Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) daerah untuk jangka waktu 20 tahun, yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional.
(2) Selanjutnya pemerintah daerah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) daerah untuk jangka waktu 5 tahun, yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional; RPJM daerah memuat: arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Kebijakan lebih teknis berkaitan dengan RPJM Daerah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Nasional tahun 2004-2009 Pasal 1 butir 3 yang menyatakan bahwa RPJM Daerah tahun 2004-2009 adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2004 s.d. 2009;
(3) Setelah RPJM Daerah ditetapkan, maka pemerintah daerah menyusun Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja pemerintah;
(4) Dengan telah ditetapkannya RKPD tersebut, maka Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang merupakan dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun;
(5) Dari Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah tersebut, selanjutnya SKPD menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD), yang merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai penjabaran dari Rencana Kerja Perangkat Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
Untuk lebih jelasnya proses perencanaan pembangunan daerah dan keterkaitannya dengan sistem perencanaan prmbangunan nasional dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel I
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
DAN KETERKAITANNYA DENGAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL





























Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah

Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya melalui Sekretaris Daerah untuk: (1) dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola APBD; (2) dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah; (3) dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk selaku Bendahara Umum Daerah; dan (4) dilaksanakan oleh pegawai yang ditunjuk selaku Bendahara Penerima Daerah dan Bendahara Pengeluaran Daerah untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Adapun ketentuan menyangkut perbendaharaan tersebut baik Bendahara Umum Daerah, Bendahara Penerima Daerah maupun Bendahara Pengeluaran Daerah adalah sebagai berikut: (a) Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; (b) Bendahara penerimaan daerah adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada pemerintah daerah; sedangkan (c) Bendahara Pengeluaran Daerah adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada pemerintah daerah.
Berkaitan dengan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut, Pasal 10 UU 1/2004 menyebutkan bahwa:
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh: (a) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola APBD; (b) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas:
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas:
a. menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD;
b. menyusun dokumen pelaksanaan kegiatan anggaran SKPD;
c. melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran AKPD yang telah disahkan;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak yang menjadi tanggungjawabnya;
e. mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;
f. mengelola dan menatausahakan barang milik/dikuasai daerah yang berada dalam penguasaannya; dan
g. menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan program dan kegiatan serta anggaran.

Struktur APBD

Berkaitan dengan struktur dan format APBD dapat disampaikan bahwa sejak tahun anggaran 2001, format APBD telah berubah dari format T- Account menjadi I-Account. APBD dalam format T-Account lebih dikenal dengan “anggaran berimbang dan dinamis”, karena memiliki dua kolom, sebelah kiri (debet) menyajikan rincian penerimaan dan sebelah kanan (kredit) merinci pengeluaran. Sedangkan APBD dengan format I-Account hanya terdapat satu kolom yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran, surplus/defisit dan pembiayaan.
Perubahan format dan struktur belanja daerah sesuai dengan UU 17/2003, pada intinya adalah: (a) melaksanakan sistem penganggaran secara terpadu (unified budget), yaitu dengan penyatuan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan; dan (b) mereklasifikasi rincian belanja daerah menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya menurut sektor dan jenis belanja.
Struktur APBD berdasarkan Pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa “struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah”. Selisih antara anggaran pendapatan daerah dan anggaran belanja daerah dapat mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Surplus anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, dapat dimanfaatkan untuk pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo, pembelian kembali obligasi daerah, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman daerah, transfer ke rekening dana cadangan, yang dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan. Defisit anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit meliputi sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari rekening dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah, penerimaan piutang daerah, yang dianggarkan pada penerimaan pembiayaan.
Berkaitan dengan format dan struktur APBD, Dr. Mulia P. Nasution (2004) menyatakan bahwa tujuan perubahan format adalah: (1) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara melalui (a) minimalisasi duplikasi rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara/daerah; dan (b) meningkatkan keterkaitan antara keluaran (output) dan hasil (outcomes) yang dicapai dengan penganggaran organisasi; (2) menyesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perbandingan format dan struktur belanja negara/daerah yagng baru dan lama dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:










TABEL 2
PERBANDINGAN FORMAT
DAN STRUKTUR BELANJA NEGARA/DAERAH
BARU DAN LAMA
Format Lama
Format Baru
Ø Klasifikasi Jenis Belanja
§ Dual Budgeting
§ Belanja Pusat terdiri dari 6 jenis belanja (termasuk belanja pemba-ngunan).

Ø Klasifikasi Organisasi
§ Tidak tercantum dalam NK dan UU APBN tetapi hanya tercantum dalam buku Satuan 3 yang ditetapkan dengan Keppres.


Ø Klasifikasi Sektor
§ Terdiri atas 20 sektor dan 50 subsektor.
§ Program merupakan rincian dari sektor pada pengeluaran rutin dan pembangunan.
§ Nama-nama program antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan agak berbeda.

Ø Dasar Alokasi
§ Alokasi anggaran berdasarkan sektor, subsektor dan program.

Ø Klasifikasi Jenis Belanja
§ Unified Budgeting
§ Belanja Pusat terdiri dari 8 jenis belanja.


Ø Klasifikasi Organisasi
§ Daftar organisasi pengguna anggaran belanja negara tercantum dalam NK dan UU APBN.
§ Jumlah kementerian negara/ lembaga disesuaikan dengan yang ada.

Ø Klasifikasi Fungsi
§ Terdiri atas 11 fungsi dan 79 sub fungsi.
§ Program pada masing-masing kementerian negara/lembaga dikompilasi sesuai dengan fungsinya.
§ Nama-nama program telah disesuaikan dengan Unified Budget.
Ø Dasar Alokasi
§ Alokasi anggaran berdasarkan program kementerian negara/ lembaga.

Sumber : Dr. Mulia P. Nasution (2004)


Penyusunan APBD

Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan daerah, pemerintah daerah menyusun Rancangan APBD yang memuat rencana penerimaan, pengeluaran, dan pembiayaan. Ketentuan mengenai penyusunan APBD sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UU 17/2003 adalah sebagai berikut:
Penyusunan Rancangan APBD berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD);
Dalam rangka penyusunan RAPBD, pemerintah daerah menyusun kebijakan umum APBD berdasarkan RKPD;
Kebijakan Umum APBD memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan;
Kebijakan Umum APBD disampaikan Kepala Daerah kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya;
Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah dibahas dan disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk satu tahun anggaran;
Kebijakan umum APBD dan prioritas serta plafon anggaran sementara yang telah dibahas, kemudian dirumuskan kedalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Kepala daerah dengan pimpinan DPRD;
Kebijakan umum APBD dan prioritas serta plafon anggaran sementara yang telah disepakati bersama DPRD, selanjutnya ditetapkan Kepala Daerah sebagai acuan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD);
RKA-SKPD memuat rincian program, kegiatan dan anggaran dari setiap satuan kerja perangkat daerah. RKA-SKPD memuat informasi sekurang-kurangnya berisi penjelasan mengenai sasaran yang hendak dicapai, jenis, fungsi, nama organisasi, nama program, nama kegiatan, sumber pendapatan, jenis belanja, dan jenis pembiayaan;
Rencana pendanaan program dan kegiatan disesuaikan dengan prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan Kepala Daerah;
Program dan kegiatan serta rencana anggaran selanjutnya disusun kedalam RKA-SKPD.
Penyusunan RKA-SKPD disertai dengan prakiraan belanja 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan sebagaimana tercantum dalam Renstra SKPD;
RKA-SKPD yang telah disusun oleh satuan kerja perangkat daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah untuk dibahas lebih lanjut oleh tim anggaran eksekutif daerah;
Tim anggaran eksekutif daerah yang diketuai oleh sekretaris daerah dan beranggotakan pejabat satuan kerja perencanaan pembangunan daerah, pengelola keuangan daerah, pendapatan daerah dan unsure lainnya ditetapkan dengan keputusan kepala Daerah;
Pembahasan oleh tim anggaran eksekutif bertujuan untuk mengevaluasi prestasi kerja yang akan dicapai dalam rencana program, kegiatan dan anggaran yang diusulkan satuan kerja perangka daerah untuk diselaraskan dengan kebijakan umum APBD, dan prioritas serta plafon anggaran sementara, standar harga satuan, kewajaran biaya dengan beban kerja;
Standar harga satuan, dan kewajaran biaya dengan beban kerja ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah;

Penetapan APBD

Dalam hal penetapan APBD, berdasarkan Pasal 180 dan 181 UU 32/2004 proses penetapan APBD sebagai berikut:
a. RKA-SKPD yang telah dibahas oleh tim anggaran eksekutif daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD;
b. Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh pejabat pengelola keungan daerah disusun oleh pejabat pengelola keuangan daerah disampaikan kepada kepala Daerah;
c. Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebelum disampaikan kepada DPRD wajib disebarluaskan kepada masyarakat;
d. Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD bersifat pemberian informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan; penyebarluaan dilakukan oleh sekretaris daerah;
e. Kepala Daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD, beserta lampirannya (nota keuangan) kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya untuk mendapatkan persetujuan bersama;
f. DPRD menetapkan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah;
g. Pembahasan rancangan peraturan daerah berpedoman pada kebijakan umum APBD, serta prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan DPRD;
h. Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan;
i. Rancangan peraturan Kepala Daerah dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari menteri dalam Negeri bagi Propinsi dan Gubernur bagi Kabupaten/Kota.

Perubahan APBD

Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi: (a) perubahan kebijakan umum APBD serta perubahan prioritas dan plafon anggaran sementara, disajikan secara lengkap penjelasan antara pokok-pokok kebijakan umum serta prioritas dan plafon anggaran sebelum perubahan dan setelah perubahan; (b) perubahan atas kegiatan, rincian kegiatan, dan uraian rincian kegiatan yang tercantum dalam DPKA, dapat dilakukan melalui mekanisme pergeseran anggaran dan dituangkan dalam perubahan APBD; (c) keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.

Pelaksanaan APBD

Setelah APBD ditetapkan secara rinci dengan Peraturan Daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam pelaksanaan anggaran. Selanjutnya Kepala Daerah memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing SKPD. Masing-masing Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk SKPD yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Dokumen pelaksanaan anggaran tersebut, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja serta pendapatan yang diperkirakan. Selanjutnya Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh pejabat pengelola keuangan daerah disampaikan kepada kepada SKPD dan badan pengawasan daerah. Dalam melaksanakan pengeluaran anggaran, kepala SKPD selaku pengguna anggaran, menggunakan standarisasi harga dan standarisasi barang/jasa. Standarisasi harga dibuat dalam bentuk Patokan Harga Satuan (PHS) untuk berbagai jenis barang/jasa ditetapkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Patokan harga Satuan (PHS) dipergunakan oleh Kepala SKPD selaku pengguna anggaran sebagai masukan dalam menyiapkan Harga Prakiraan Sendiri (HPS)/ Owner’s Estimate (OE). Standarisasi barang/jasa tersebut ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Sebagai upaya konkrit dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengguna anggaran/ barang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari : (1) laporan realisasi anggaran; (2) neraca; (3) laporan arus kas; dan (4) catatan atas laporan keuangan.
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun laporan keuangan pemerintah daerah untuk disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Sedangkan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Daerah. Laporan keuangan disampaikan Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.

Pengawasan Keuangan Daerah

Dalam hal pengawasan pengelolaan keuangan daerah Pasal 58 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa “dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh”. Sedangkan untuk pemerintah daerah, Gubernur/Bupati/
Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang mencakup pengendalian dan pemeriksaan atas perencanaan dan pelaksanaan program, kegiatan dan anggaran. Pengendalian dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya program, kegiatan dan anggaran yang telah ditetapkan. Sedangkan pemeriksaan bertujuan untuk menguji ketaatan dan kewajaran pelaporan keuangan, pencapaian aspek ekonomi (efisiensi dan efektifitas, dan kemungkinan adanya indikasi kerugian daerah. Disamping sistem pengendalian internal tersebut, pengawasan atas pengelolaan keuangan daerah juga dilakukan oleh berbagai lembaga pengawasan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, baik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BEPEKA), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA) sebagai aparatur pengawasan perangkat Pemerintah Daerah, serta pengawasan oleh DPRD atas pelaksanaan APBD.


V. Penutup
Perubahan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah diharapkan akan mampu mendorong terciptanya efektivitas, efisiensi dan transparansi, serta tertib dan taat pada peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dan kepatutat dalam setiap pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu dari aspek teknis, aspek legalitas dan aspek material, sedapat mungkin dapat menjamin terciptanya akuntabilitas dan diharapkan akan dapat mencegah atau paling tidak mengurangi praktik-praktik penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Namun demikian untuk megimplementasikan sistem pengelolaan keuangan daerah sebagaimana telah diamanatkan berbagai peraturan perundangan bidang keuangan negara tersebut, diperlukan kesiapan yang matang dan perlunya tindak lanjut dari berbagai peraturan perundangan tersebut ke dalam kebijakan yang lebih teknis sebagai landasan penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran No. 903/3172/SJ/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005, dimana disebutkan bahwa sambil menunggu penyelesaian peraturan pemerintah sebagai landasan penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban APBD sebagaimana diamanatkan Pasal 194 UU 32/2004, UU 17/2003, UU 1/2003, maka untuk menyusun APBD tahun anggaran 2005 masih berpedoman pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan, Penganggaran dan Pengawasan Keuangan serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.

VI. Daftar Pustaka

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;
Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Nasional tahun 2004-2009.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan, Penganggaran dan Pengawasan Keuangan serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/3172/SJ/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Tahun anggaran 2005.
Dr. Boediono, Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Azas Desentralisasi Fiskal, Jakarta, Februari 2002.
Dr. Mulia P. Nasution, DESS, Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara dan Akuntabilitas Kinerja Keuangan di Era Baru Pemerintahan, Jakarta, 2004.
Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Pres, 2002.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar